Puisi : Pengertian
dan Unsur-unsurnya
Karya sastra secara umum bisa
dibedakan menjadi tiga: puisi, prosa, dan drama. Secara etimologis istilah
puisi berasal dari kata bahasa Yunani poesis, yang berarti membangun,
membentuk, membuat, menciptakan. Sedangkan kata poet dalam tradisi
Yunani Kuno berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang
hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah
orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf,
negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Menurut Kamus Istilah Sastra
(Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh
irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9)
mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik
dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
Carlyle mengemukakan bahwa puisi
adalah pemikiran yang bersifat musikal, kata-katanya disusun sedemikian rupa,
sehingga menonjolkan rangkaian bunyi yang merdu seperti musik.
Samuel Taylor Coleridge
mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah.
Ralph Waldo Emerson (Situmorang,
1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata
sesedikit mungkin.
Putu Arya Tirtawirya (1980:9)
mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit dan samar, dengan
makna yang tersirat, di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
Herman J. Waluyo mendefinisikan
bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan
penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan
bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.
Ada juga yang mengatakan bahwa puisi
adalah bentuk karya sastra yang mengekspresikan secara padat pemikiran dan
perasaan penyairnya, digubah dalam wujud dan bahasa yang paling berkesan.
Yang Membedakan Puisi dari
Prosa
Slametmulyana (1956:112) mengatakan
bahwa ada perbedaan pokok antara prosa dan puisi. Pertama, kesatuan prosa yang
pokok adalah kesatuan sintaksis, sedangkan kesatuan puisi adalah kesatuan
akustis. Kedua, puisi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang disebut baris sajak,
sedangkan dalam prosa kesatuannya disebut paragraf. Ketiga, di dalam baris
sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir.
Pendapat lain mengatakan bahwa
perbedaan prosa dan puisi bukan pada bahannya, melainkan pada perbedaan
aktivitas kejiwaan. Puisi merupakan hasil aktivitas pemadatan, yaitu proses
penciptaan dengan cara menangkap kesan-kesan lalu memadatkannya (kondensasi).
Prosa merupakan aktivitas konstruktif, yaitu proses penciptaan dengan cara
menyebarkan kesan-kesan dari ingatan (Djoko Pradopo, 1987).
Perbedaan lain terdapat pada sifat.
Puisi merupakan aktivitas yang bersifat pencurahan jiwa yang padat, bersifat
sugestif dan asosiatif. Sedangkan prosa merupakan aktivitas yang bersifat
naratif, menguraikan, dan informatif (Pradopo, 1987)
Perbedaan lain yaitu puisi
menyatakan sesuatu secara tidak langsung, sedangkan prosa menyatakan sesuatu
secara langsung.
Unsur-unsur Puisi
Secara sederhana, batang tubuh
puisi terbentuk dari beberapa unsur, yaitu kata, larik , bait, bunyi, dan
makna. Kelima unsur ini saling mempengaruhi keutuhan sebuah puisi. Secara
singkat bisa diuraikan sebagai berikut.
Kata adalah unsur utama
terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan
kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi
menjadi sebuah larik.
Larik (atau baris) mempunyai
pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata
saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah
kata dalam sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak ada
batasan.
Bait merupakan kumpulan larik yang
tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi
lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat buah, tetapi pada puisi
baru tidak dibatasi.
Bunyi dibentuk oleh rima dan irama.
Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata
dalam larik dan bait. Sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah,
panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh
perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya
rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian
keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek
kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk
irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama
inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi
menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.
Makna adalah unsur tujuan dari
pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan
dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan.
Adapun secara lebih detail,
unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur, yaitu struktur batin dan
struktur fisik.
Struktur batin puisi, atau sering
pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal-hal sebagai berikut.
(1) Tema/makna (sense);
media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna,
maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna
keseluruhan.
(2) Rasa (feeling),
yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan
psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin,
kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan
psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam
menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih
kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak
bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang
terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
(3) Nada (tone), yaitu
sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa.
Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama
dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada
pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4)
Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong
penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair
menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
Sedangkan struktur fisik puisi,
atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan
oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik puisi meliputi
hal-hal sebagai berikut.
(1) Perwajahan puisi
(tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata,
tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu
dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut
sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2) Diksi, yaitu
pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi
adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak
hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata
dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
(3) Imaji, yaitu kata
atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh
(imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat,
mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4) Kata kongkret,
yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya
imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata
kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll, sedangkan
kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi,
kehidupan, dll.
(5) Bahasa figuratif,
yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan
konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi
menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna
(Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam
majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke,
eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks,
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6) Versifikasi, yaitu
menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi,
baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope
(tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi
Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan
akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi
bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan
kata/ungkapan. Ritma adalah tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya
bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
0 komentar:
Posting Komentar