BIOGRAFI
CHAIRIL ANWAR
Chairil Anwar merupakan anak
tunggal.
Ayahnya bernama Toeloes, mantan
bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota.
Ibunya Saleha, berasal dari Situjuh,
Limapuluh Kota.
Chairil masuk sekolah
Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi
waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda,
tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja
tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.
ChairilTak lama
setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada
beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Chairil
Anwar adalah
seorang penyair legendaris yang dikenal juga sebagai "Si Binatang
Jalang" (dalam karyanya berjudul "Aku"). Salah satu bukti
keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di
Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi
(DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima
putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.
Pada usia sembilan belas tahun,
setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di
mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai,
Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia
mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama,
seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J.
Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya
dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil
sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup
Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat
adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam
sajak yang luar biasa pedih:
"Bukan kematian benar yang
menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas
debu/ Dan duka maha tuan bertahta"
Sesudah nenek, ibu adalah wanita
kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya,
Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan
ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil
juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil
terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat
suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia,
salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan,
baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan
hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya
selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Masa dewasa
Nama Chairil mulai terkenal dalam
dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada
tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua
puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi
penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir
hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di
Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Semua tulisannya yang asli,
modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur
Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga
Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Chairil memang penyair besar yang
menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk
perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini,
antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang
disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald
MacLeish (1948).
Dia juga menulis sajak
"Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada
Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Bahkan sajaknya yang berjudul
"Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang
sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi
sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.
Salah satu karya Chairil Anwar, yaitu
sajaknya yang berjudul “Aku”
Aku , (Chairil
Anwar)
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Analisis puisi “Aku” karya Chairil
Anwar.
1. Tema
Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran pengarang. Sesuatu
yang menjadi pikiran tersebut dasar bagi puisi yang dicipta oleh penyair.
Sesuatu yang dipikirkan itu bias bermacam-macam permasalahan hidup. Penyair
tidak pernah menyebut tema tema puisi yang ditulisnya. Untuk mengetahui
temasebuah puisi pembaca harus membaca keseluruhan puisi tersebut dengan
cermat.
Tema pada
puisi “Aku” karya Chairil Anwar adalah menggambarkan semangat perjuangan untuk
membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Seperti pada baris keempat dan kelima
: ‘Biar peluru menembus kulitku’
‘Aku tetap meradang menerjang’.
2. Nada
Nada adalah sikap penyair kepada pembaca.
Dalam
Puisi ‘Aku’ terdapat kata ‘Tidak juga kau’, Kau yang dimaksud dalam
kutipan diatas adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini menunjukkan
betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah mendengar atau
pun membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk. Disamping Chairil
ingin menunjukkan ketidak peduliannya kepada pembaca, dalam puisi ini juga
terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu adalah makhluk yang tak
pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang seseorang dari
baik-buruknya saja, karena kedua hal itu pasti akan ditemui dalam setiap
manusia. Selain itu, Chairil juga ingin menyampaikan agar pembaca tidak perlu
ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa
pun bentuk penilaian itu.
3. Rasa
Rasa adalah sikap penyeir terhadap pokok permasalahan yang
terdapat pada puisinya.
Pada puisi
“Aku” karya Chairil Awar merupakan
eskpresi jiwa penyair yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana
penyair tidak mau meniru atau menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan
sikap jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika sampai waktunya”,
ia tidak mau terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas
sebebas-bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari
sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa dengan luka itu, ia akan
lebih jalang, lebih dinamis, lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia
malahan ingin hidup seribu tahun lagi. Uraian di atas merupakan yang
dikemukakan dalam puisi ini semuanya adalah sikap chairil yang lahir dari
ekspresi jiwa penyair.
4. Amanat
Amanat adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan
puisinya. Amanat berhubungan dengan makna karya sastra. Makna bersifat kias,
subjektif, dan umum. Makna berhubungan dengan individu, konsep seseorang dan
situasi tempatpenyair mengimajinasikan puisinya.
Amanat
dalam Puisi ‘Aku’ karya Chairil Anwar yang dapat saya simpulkan dan dapat
kita rumuskan adalah sebagai berikut :
- Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun rintangan menghadang.
- Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannyasaja.
- Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.
5. Diksi
Untuk
ketepatan pemilihan kata sering kali penyair menggantikan kata yang
dipergunakan berkali-kali yang dirasa belum tepat, diubah kata-katanya.
Seperti
pada baris kedua: bait pertama
“Ku mau
tak seorang ’kan merayu”
Merupakan
pengganti dari kata “ku tahu”.
“kalau
sampai waktuku”
dapat
berarti “kalau aku mati”
“tak perlu
sedu sedan“
dapat
bererti “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”. “Tidak juga kau” dapat
berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
6.
Pengimajian
Gambaran-gambaran angan, gambaran
pikiran, kesan mental atau bayangan visual dan bahasa yang menggambarkannya
biasa disebut dengan citra atau imaji. Citraan dapat dikelompokan atas beberapa
macam, antara lain : citraan visual (penglihatan), citraan auditif
(pendengaran), citraan artikulatoris (pengucapan), citraan alfaktori
(penciuman), citraan gustatory (kecakapan), citraan taktual (peraba/ perasaan),
citraan kinaestetic “kinaestetik” (gerak), dan citraan organik.
Di dalam
sajak ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya :
‘Ku mau
tak seorang ’kan merayu (Imaji Pendengaran)
‘Tak perlu
sedu sedan itu’ (Imaji Pendengaran)
‘Biar
peluru menembus kulitku’ (Imaji Rasa)
‘Hingga
hilang pedih perih’ (Imaji Rasa).
7. Kata Konkrot
Kata konkret adalah kata-kata yang digunakan penyair untuk
menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk
membangkitkan imaji pembaca.
Secara makna, puisi Aku tidak
menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan
kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan
judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau
mengalah, seperti Chairil itu sendiri.
8. Versifikasi
Ritme
dalam puisi yang berjudul ‘Aku’ ini terdengar menguat karena ada pengulangan
bunyi (Rima) pada huruf vocal ‘U’ dan ‘I’
Vokal
‘U’pada larik pertama dan ke dua, pengulangan berseling vokal a-u-a-u
Larik
pertama ‘Kalau sampai waktuku.’
Larik
kedua ‘Ku mau tak seorang-’kan merayu.
Larik
kedua ‘Tidak juga kau’.
Pengulangan
vokal ‘I’:
Luka dan
bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih perih
Dan aku
akan lebih tidak peduli
Aku mau
hidup seribu tahun lagi
9. Tipogafri
Tipografi
atau disebut juga ukiran bentuk. Dalam Puisi didefinisikan atau diartikan
sebagai tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata dan bunyi untuk menghasilkan
suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa dan suasana. Namun dalam sajak
‘Aku’ karya Chairil Anwar tidak menggunakan tipografi.
10. Sarana Retorika
Dalam
sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa
hiperbola, dikombinasi dengan ulangan, serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal
a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan di
atas.
Hiperbola
tersebut :
Aku ini
binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar perlu
menembus kulitku
Aku tetap
meradang menerjang
………
Aku ingin
hidup seribu tahun lagi
Gaya
tersebut disertai ulangan i-i yang lebih menambah intensitas :
Luka dan
bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih peri
Dan aku
akan lebih tidak perduli
Aku ingin
hidup seribu tahun lagi
Dengan
demikian jelas hiperbola tersebut penonjolan pribadi tanpa makin nyata disana
ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya.
0 komentar:
Posting Komentar